awal

Laman

Jumat, 21 Oktober 2011

Pantai Losari Makassar vs Boulevard Manado


Keindahan Bolevard Manado kini tergantikan dengan bangunan Mall

PANTAI Losari kota Makassar dan Pantai Boulevard kota Manado kini memiliki nasib sama. Yakni telah hilang akibat tergilas pembangunan dan pengembangan wilayah kota lewat penimbunan atau reklamasi. Padahal kedua garis pantai ini dulunya merupakan areal publik yang dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat untuk menikmati keindahan laut, yang tentu murah meriah.

Namun sayang, Pantai Losari yang dulunya dikenal sebagai pantai dengan meja makan terpanjang seluruh dunia karena puluhan hingga ratusan gerobak penjual makanan berderet rapi digaris pantai ini. Tapi itu sudah hilang dan tidak terlihat lagi semenjak November 2004 ketika proyek revitalisasi Pantai Losari dimulai.

Demikian pula dengan pantai Boulevard, yang dulunya tidak pernah sepi dari warga yang menikmati keindahan sunset dan sunrise, serta keindahan pulau Manado Tua yang berada tepat di sepanjang garis pantai juga menghilang semenjak  dimulainya reklamasi di tahun 1997. Otomatis saja, pemerintah seakan menjarah ruangan public dengan menggantikan konsep reklamsi yang tentu hanya menguntungkan segelintir investor yang jelas-jelas bertujuan bisnis.

Tapi jika diamati, warga kota Makassar tergolong beruntung jika dibandingkan dengan warga kota Manado. Karena konsep reklamasi yang terapkan untuk Pantai Losari benar-benar bertujuan untuk kepentingan publik. Padahal ketika walikota Makassar Malik B. Masry (1994-1999) mencetuskan konsep masa depan Losari berbagai penolakan bermunculan.

Pantai Losari Makassar yang direklamasi untuk ruangan publik
Mulai dari masalah sosial tentang nasib ratusan pedagang yang sekian tahun telah menggantungkan hidup di Pantai Losari dengan berjualan makanan dan minuman serta mengamen hingga mengemis. Belum lagi penolakan dari segi lingkungan, karena jelas konsep reklamasi akan mengorbankan biota laut yang ada di sepanjang pantai tersebut.

Namun Masry tetap berupaya untuk meyangkinkan warganya, bahkan dirinya melibatkan langsung masyarakat kota Makassar untuk ikut mendesain konsep reklamasi dengan melakukan sayembara penataan pantai Losari yang dianggap lebih modern. “Losari membutuhkan penambahan space karena harapan masyarakat semakin tinggi untuk memanfaatkan Losari sebagai public space. Makanya, pemerintah kota Makassar berniat semata-mata untuk public space, bukan bisnis space,” janji Maula ketika itu yang dikutip dari www.majalahversi.com.

Dengan demikian, tepat Selasa 9 November 2004, proyek revitalisasi Pantai Losari pun dimulai. Dan kini, apa yang dijanjikan oleh pemerintah Makassar benar-benar dibuktikan. Dimana reklamasi Pantai Losari memang untuk ruangan publik bagi masyarakat kota Makassar dari berbagai elemen. Ditandai dengan pembangunan anjungan serta huruf-huruf ukuran dua meter bertengger kokoh di bibir anjungan dengan tulisan “Pantai Losari”.

Pantai Losari yang tidak pernah sepi dari masyarakat bersantai

Lokasi ini sendiri tidak pernah sepi dari masyarakat, terutama menjelang matahari terbenam. Bukan hanya warga kota Makassar namun pantai Losari kini menjadi salah satu lokasi tujuan wisata bagi masyarakat yang mengunjungi kota ini dan ini tentu menghidupi ratusan penjual makanan yang dulunya mendiami garis pantai Losari.

Lalu bagaimana dengan pantai Bolevard yang kini telah tergantikan dengan gedung mall? Jelas jika dibandingkan dengan peruntukan reklamasi pantai Losari, maka konsep reklamasi pantai Boulevard benar-benar telah merampas ruangan publik masyarakat kota Manado. Karena kini masyarakat tidak dapat lagi menikmati keindahan pantai semenjak sejumlah pengembang telah mengkapling lokasi yang ada di sepanjang garis pantai tersebut untuk ditimbun.

Kini Bolevard hanya milik pengusaha, bukan lagi masyarakat umum
Yang lebih memiriskan lagi, pihak kepolisian begitu gencarnya melakukan rasia terhadap warga yang mencoba untuk menikmati “sisa-sisa” keindahan pantai Boulevard di belakang gedung-gedung mall yang menghadap pantai. Tentu ini sangatlah tidak adil, karena jelas masyarakat membutuhkan ruangan publik, apalagi kota Manado yang kini menjadi kota berkembang dan pusat Sulawesi Utara yang tentu sangat membutuhkan ruangan publik.

Sangat jelas jika pantai Boulevard yang dulunya milik masyarakat kini telah dijadikan lahan  bisnis space. Yang tentu sangat-sangat tidak membawa keuntungan bagi masyarakat, apalagi menikmati konsep reklamasi tersebut. Malah boleh dikatakan semakin memojokkan masyarakat, terutama masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan, karena kini tidak ada lagi lahan untuk tambatan perahu.

Harusnya pemerintah kota Manado bisa melakukan kajian, dengan belajar ke pemerintah Makassar yang jauh lebih mementingkan kepentingan publik daripada bisnis. Karena jelas kepentingan publik lebih utama daripada kepentingan bisnis yang tentu hanya dinikmati oleh segelintir orang saja, namun masyarakat hanya bisa menjadi penonton.(*)


Cagar Alam Gunung Tangkoko Batuangus


Gunung Tangkoko Batuangus


CAGAR Alam Gunung Tangkoko Batuangus adalah cagar alam di Kecamatan Bitung Utara, Kota Bitung, Sulawesi Utara. Cagar alam seluas sekitar 8.745 hektare ini merupakan tempat perlindungan monyet hitam sulawesi dan tarsius. Di dalam kawasan ini terdapat Taman Wisata Batuputih dan Taman Wisata Alam Batuangus. Secara geografis, cagar alam ini terletak di antara 125°3' -125°15' BT dan 1°30'-1°34' LU, dan berbatasan langsung dengan Cagar Alam Gunung Duasudara. Kawasan cagar alam ini dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara.

Gunung Tangkoko Batuangus dan bekas aliran lahan

Gunung Tangkoko Batuangus dan bekas aliran lahan
Aliran lahar Gunung Tangkoko Batuangus yang mengarah ke Selat Lembeh

Bitung Yang Beranjak Dewasa


“Beranjak dewasa kakakku Rani tercinta,
Sudah saatnya belajar berpijar,
Tinggalkan Jakarta demi masa depan cipta,
Sudah waktunya kau mulai terjaga …”

DEMIKIANLAH penggalan lagu “Perhatikan Rani” dari grup band Sheila On 7 yang mungkin tepat untuk menggambarkan Kota Bitung yang Senin (10/9) genap berusia 21 tahun. Lagu ini sendiri bercerita tentang seorang anak perempuan bernama Rani yang mulai beranjak dewasa layaknya usia Kota Bitung saat ini. Dimana dalam lirik lagu berisi tentang nasehat terhadap Rani dalam menjalani hidup yang mulai beralih dari masa remaja ke dewasa.

“Beranjak melentik kakakku Rani yang cantik,
jadikan masa depanmu menarik,
ingat s’lalu pesan kedua orangtuamu,
Jalani dengan hatimu yang tulus…“

Menurut saya lagu ini sangat cocok dan tepat untuk perayaan HUT Kota Bitung. Pasalnya, di usia ke-21 yang kini dicapai kota Multidimensi ini perlu banyak bimbingan dan nasehat layaknya seorang anak manusia yang mulai beranjak dewasa yang perlu bimbingan agar kota ini lebih maju dan baik kedepan. Terutama dalam mensejahterakan warganya lewat sejumlah program yang menyentuh langsung masyarakat Kota Bitung.

Pintu Gerbang Kota Bitung
Diusia ke-21 ini, saya sendiri mengibartakan Kota Bitung seorang gadis seperti lagu Sheila On 7 yang beranjak dewasa. Bukan tanpa alasan, karena menurut KUH Perdata / BW, Kedewasaan seseorang adalah usia 21 tahun atau telah menikah juga Pasal 330 KUH Perdata, menyetakan orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum belum pernah kawin sebelumnya.

Tak hanya itu, malah menurut Hurlock, salah satu pakar psikologi perkembangan, masa dewasa manusia dibagi menjadi 3 tahap yaitu, masa dewasa awal (masa dewasa dini/young adult). Dimana menurutnya, masa dewasa awal adalah masa pencaharian kemantapan dan masa reproduktif yaitu suatu masa yang penuh dengan masalah dan ketegangan emosional, priode isolasi sosial, priode komitmen dan masa ketergantungan, perubahan nilai-nilai, kreativitas dan penyesuaian diri pada pola hidup yang baru. Kisaran umurnya antara 21 tahun sampai 40 tahun.

“Dan jangan takut jangan layu pada semua,
Cobaan yang menerpamu, jangan layu,
Kami s’lalu bersamamu dalam derap,
Dalam lelap mimpi indah… bersamamu…”

Jadi sangat jelas jika Kota Bitung yang memasuki masa dewasa memerlukan bimbingan dan arahan yang jelas agar kedepannya tidak salah jalan. Dan jelas tugas ini ada dipundak pasangan walikota dan wakil walikota ke-10 Kota Bitung, Hanny Sondakh dan Max Lomban untuk menanamkan langkah awal kota ini dalam menapaki kedewasaan.

Tak mudah memang, karena diusia ini begitu banyak tantangan dan persoalan yang muncul. Semua harus memerlukan pemikiran yang matang untuk mengambil suatu keputusan, tidak seperti usai sebelumnya yakni masa remaja yang boleh dikatakan lebih banyak menggunakan emosi dalam bertindak tanpa memikirkan akibatnya. Namun diusai ini, Sondakh-Lomban harus benar-benar jeli dan memerlukan berbagai kajian dalam memutuskan sesuatu. Jika tidak maka jelas langkah kedepan Kota pelabuhan ini akan menimbulkan persoalan baru.

Salah satu sudut Kota Bitung
Mungkin sekedar masukan bagi Sondakh-Lomban dalam HUT ke-21 ini dalam membawa Kota Bitung lebih kearah dewasa. Yakni dengan jalan lebih fokus lagi terhadap persoalan kemasyarakat yang selama ini belum juga terpecahkan. Seperti persoalan status tanah Pulau Lembeh, jalan Lingkar Lembeh, keberadaan imigrasi gelap, pembangunan infrastruktur diwilayah pinggiran seperti daerah Kasawari, Makawidey dan sekitarnya, juga Batuputih.

Jangan hanya fokus pada program-program yang ditelorkan pemerintah Provinsi atau pusat, sebab belum tentu program yang datang dibawa ke Kota Bitung cocok dengan masyarakat kita. Seperti Minapolitan yang saat ini sementara gencar-gencarnya dibicarakan, namun coba kita melihat kondisi nelayan yang ada disepanjang garis pantai Menembo-nembo hingga Aertembaga yang kian tersisih. Sangat jelas kontradiktif dengan program Minapolitan yang katanya bertujuan untuk mengangkat nelayan kecil, tapi buktinya, program tersebut belum berjalan nelayan kecil sudah menjerit karena tidak ada lahan untuk menambatkan perahu.

Belum lagi jika memang nantinya kapal-kapal luar begitu bebas masuk keluar Selat Lembeh mengangku ikan, apakah nelayan kecil akan merasakan program tersebut. Atau hanya menjadi penonton saja dan menjadi pendongeng bagi anak cucunya kelak soal kekayaan laut Kota Bitung yang kini mulai dikuasai pengusaha.

Untuk itu diharapkan, Sondakh-Lomban bisa berani dalam mengambil langkah atau kebijakan. Terutama program yang berhubungan langsung dengan masyarakat agar seluruh masyarakat bisa tumbuh bersama menuju kedewasaan. Dan sangatlah disayangkan jika hanya usia yang bertambah dewasa namun warganya masih tetap saja berusia remaja karena tidak adanya perhatian.

“Padamkan sekejap warna-warni duniamu,
Saat kau mulai kehilangan arah,
Nyalakan sekejap warna-warni duniamu,
Saat berjalanmu kembali tegap…”

Salah satu sudut Kota Bitung
Belajar dan banyak mendengar aspirasi masyarakat adalah hal yang tepat untuk membawa Kota Ikan ini ke arah dewasa. Dan mungkin tidak salah jika, Sondakh-Lomban mengikuti cara DPRD Kota Bitung melakukan reses atau berrdialog langsung dengan masyarakat. Mendengar apa yang menjadi keluhan secara langsung dan bersama-sama mencari solusi.

Karena jelas jika Sondakh-Lomban hanya mendengar laporan maka tidak menutup kemungkinan apa yang diinginkan masyarakat tidak akan sampai. Karena tidak menutup kemungkinan ada pejabat yang hanya Asal Bapak Senang (ABS) yang hanya melaporkan hal-hal yang indah saja. Dan saya rasa hal ini tidaklah sulit dilakukan. Mungkin dalam sebulan cukup 1 atau 2 jam untuk berbaur dengan masyarakat, mendengar apa yang menjadi keluhan dan sebagainya yang tentu harus ditindaklanjuti. Bukan hanya sekedar didengar saja.

Dengan demikian, saya percaya usia kota ini yang beranjak dewasa akan ikut mendewasakan masyarakatnya lewat perhatian dan program yang lebih berpihak kepada masyarakat. Selama ulang tahun Kota Bitung, semoga engkau tidak salah dalam melangkah dan menetukan masa depanmu. Dirgahayu Kota Bitung.(*)

Catatan dalam rangka HUT Kota Bitung ke-21 tahun, dipublikasikan lewat http://beritamanado.com/kota-bitung-2/bitung-yang-beranjak-dewasa/57117/

...tak ada lagi...



...sahabat...apa kabarmu disana...
di dunia yang tidak dapat kujangkau...
tapi kan kukunjungi kelak...setelah nafas ini berhenti...

...sahabat...aku merindukanmu...
berharap kau ada disini...berbagi dan mendengar keluh kesahku...
tentang segala yang kualami setelah kau pergi...
berbagi...merangkulku kala aku merasa terpuruk...

...sahabat...masihkah kau mengingat aku...
seperti ketika aku berlari padamu...meminta bantuan dan berlindung dalam dekapanmu...
dari dunia yang kadangkala asing dan tidak bersahabat...
meminta petunjuk...menuntun langkahku ntuk melanjutkan hidup....

...sahabat...aku lelah menunggu dan mencarimu...
aku kini terkulai menunggumu...datanglah...sejenak menemaniku walau itu hanya sepeminuman teh... 

awal agt '010 
by mougly



Minggu, 09 Oktober 2011

Lembeh yang Ditinggalkan

Ibu Yuke dan putrinya berbagi jalan dengan motor.(bm)

YUKE Kamalaheng (37) bersama putrinya Vebriyanti Malitoi (17), berhenti sejenak sambil menepi dan menyeka keringat, setelah menuntaskan jalan setapak mendaki. Beberapa menit lalu, ibu dan anak  ini baru turun dari perahu yang membawa mereka dari dermaga Ruko Pateten ke dermaga Binuang dengan tujuan kembali ke rumah mereka di Motto yang jaraknya masih sekitar 4 kilometer.
“Dalam beberapa minggu ini dua unit perahu yang selama ini melayani angkutan penumpang dari Motto ke Ruko Patetan tidak beroperasi, jadi kami harus naik perahu arah Binuang dan selanjutnya berjalan kaki atau naik ojek,” tutur Ibu Yuke sambil berusaha mengatur nafas yang ngos-ngosan ketika melewati tanjakan kedua.
Setelah berhenti beberapa menit, ibu dan anak ini baru akan kembali mengatur langkah, namun mendengar raungan sepeda motor yang semakin mendekat, keduanya lebih memilih untuk tetap menepi dan menunggu kendaraan tersebut lewat.
“Kami harus mengalah terhadap kendaraan roda dua saat menggunakan jalan, apalagi jika mengangkut penumpang atau bahan-bahan dan berada di jalan menanjak begini,” tutur Ibu Yuke sambil kembali menyeka keringat didahi dan lehernya.
Bigitulah kondisi jalan yang setiap hari harus dilalui warga kelurahan Motto jika ingin berpergian. Jauh dari kesan layak untuk dilalui kendaraan bermotor, apalagi sampai berboncengan. Bahkan kondisi jalan yang hanya memiliki lebar satu meter ini hampir sama dengan jalan penghubung antar kelurahan di wilayah Lembeh Utara, bahkan wilayah Pulau Lembeh pada umumnya.
Satu-satunya transportasi darat di Pulau Lembeh yang penih resiko (bm)
Kondisi ini semakin parah ketika musim hujan. Karena otomatis jalan yang sebagian besar belum dibeton tersebut akan becek dan licin. Bahkan jika warga tetap memaksakan menggunakan kendaraan saat kondisi hujan, diperlukan kehati-hatian agar tidak mengalami hal yang tidak diinginkan mengingat sebagian jalan harus melewati bukit dengan ketinggian 10 meter hingga 15 meter.
“Biasanya jika cuaca hujan, kami lebih memilih untuk parkir di rumah. Kecuali ada hal yang mendesak seperti membawa warga yang sakit atau ada bahan yang harus diambil di Binuang,” kata Opo salah satu remaja tanggung yang memilih manjadi tukang ojek sebagai pekerjaan sampingan jika tak melaut bersama orang tuanya.
Menurut Opo, sudah tidak terhitung berapa kali tergelincir ketika melewati satu-satunya jalan darat yang menghubungkan kelurahannya dengan kelurahan lain tersebut. Baik tergelincir ketika membawa penumpang, maupun bahan-bahan keperluan rumah tangga atupun ketika ia seorang diri.
“Beruntung sampai saat belum pernah mengalami kecelakan yang parah dan harus dirawat, paling parah hanya keseleo atau lecet,” katanya sambil menunjukkan beberapa bekas luka gores ditangan dan kakinya.
Jalan lingkar Lembeh sendiri yang dirintis TNI tahun 2010 tidak menjawab impian warga yang mengharapkan jalan yang memadai. Karena akses jalan tahap II yang ada di kelurahan Pancuran, kelurahan Gunung Woka, kelurahan Posokan dan kelurahan Motto tersebut tidak diikuti dengan pengerasan. Akibatnya kondisi jalan saat ini tak jauh beda dengan jalan setapak karena kembali ditutupi rumput liar dan mulai longsor, padahal ketika dirintis lebar jalan kurang lebih 4 meter.
Demikian pula akses jalan lingkar Lembeh tahap I yang menghubungkan kelurahan Pintu Kota, kelurahan Batu Riri, kelurahan Kareko, kelurahan Binuang, kelurahan Nusu dan kelurahan Motto, juga sangat memprihatinkan.
Akibatnya warga berinisiatif untuk membuka akses jalan sendiri kendati harus melewati wilayah perbukitan yang kini bisa menghubungkan kelurahan Binuang dan kelurahan Motto. Akses jalan setapak ini sendiri hanya beberapa titik yang dibeton, yakni hanya lokasi-lokasi tanjakan serta lokasi yang dianggap rawanlonsor. Namun jalan yang dibeton ini sendiri malah sangat berbahaya kala hujan karena licin, baik pengendara maupun pejalan kaki.
Kelurahan Motto sendiri merupakan 10 kelurahan di kecamatan Lembeh Utara yang menghadap langsung dengan lautan lepas, yakni laut Maluku. Dengan jumlah penduduk  735 jiwa dan 232 kepala keluarga yang pada umumnya berprofesi sebagai nelayan sekitar 75 persen dan sisanya sebagai petani. Jika dibandingkan dengan kelurahan lain, Motto boleh dikatakan sangat mengenaskan, karena sekian puluh tahun seluruh warganya belum merasakan listrik, signal telepon tidak ada, akses jalan yang memprihatinkan serta tenaga guru dan kesehatan yang minim.
Sejarah terbentukanya kelurahan Motto ini sendiri diawali tahun 1973 dengan nama desa Motto. Tapi sekitar tahun 1943 sudah ada beberapa kepala keluarga yang tinggal di Motto yakni keluarga Silinau. Tahun 1981 menjadi kelurahan yang didiami sekitar 70-an kepala  keluarga dan terus berkembang hingga kini.
Pemilihan nama Motto sendiri menurut sejumlah warga, berasal dari bahasa Sangihe yakni Mamatto yang artinya Bapotong atau Pemotong. Karena konon wilayah tersebut dulunya selalu dijadikan ajang pertempuran antara suku Laloda dari Maluku yang mendiami kampung Lirang dengan Sangihe yang mendiami kampung Binuang saat itu.
Dipilihnya lokasi ini sebagai ajang pertempuran, karena satu-satunya wilayah antara Lirang dan Binuang yang memiliki medan rata jika dibandingkan lokasi lain yang berbukit. Jadi dianggap lokasi tersebut sangat pas untuk mengadu kekuatan lewat perang karena rata dan luas. Kemudian seiring dengan perkembangan, wilayah Binuang yang kondisi wilayahnya berada di tebing sudah tidak mungkin lagi menambah lahan pemukiman. Sehingga  sebagian warga mencari lokasi baru untuk dijadikan pemukiman, maka dipilihlah Motto yang dulunya dijadikan ajang pertempuran karena memang sangat cocok untuk pemukiman sebab bentuk tanah yang landai.
Senja perlahan turun bersama gerimis hujan. Ibu Yuke dan Vebriyanti kembali mengayunkan langkah untuk bergegas tiba di rumah, setelah beberapa kali berhenti karena harus berpaspasan atau membiarkan kendaran ojek lewat. Kali ini kondisi jalan tidak lagi menanjak namun sedikit lantai dan mulai menurun.
Terlihat ibu dan anak ini mempercepat ayunan langkah, seakan berpacu degan gelap malam yang mulai memancarkan cahaya temaran. Guratan wajah Ibu Yuke terlihat sedikit tegang, padahal atap-atap rumah di kelurahannya mulai terlihat. Tas berwarna hitam yang menggantung dibahu kirinya diapit kuat-kuat seraya semakin mempercepat langkah kakinya dengan tujuan ingin secepatnya sampai di rumah.
“Saya harus bergegas tiba di rumah karena subuh tadi saya sudah meninggalkan rumah,” ujarnya sambil setengah berlari diikuti anaknya.
Rupanya Ibu Yuke tidak hanya berpacu dengan kegelapan malam, namun juga aliran listrik yang hanya menyala dari pukul 18.00 Wita hingga pukul 22.00 Wita. Jadi ia harus bergegas menanak nasi dan lauknya serta melakukan aktifitas rumah lainnya seperti menyeterika baju. Jika terlambat maka pasti dirinya mengalami kesulitan karena harus menggunakan penerangan lampu botol.

Komoditas Politik

Pulau Lembeh.(bm)
Pulau Lembeh adalah salah satu pulau yang dimiliki kota Bitung. Namun dari sekian pulau, hanya Pulau Lembeh yang terbesar dan berpenghuni dengan luas wilayah 50.90 km2. Pulau ini sendiri, sesuai dengan data Dinas Catatan Sipil dan Kependudukan kota Bitung per tanggal 5 April 2011 dihuni 22.071 jiwa penduduk, 11.293 laki-laki dan 10.778 perempuan dengan jumlah kepala keluarga 6.149. Pulau Lembeh terbagi dua kecamatan, yakni kecamatan Lembeh Utara dengan jumlah penduduk  10.225 jiwa yang tersebar di 10 kelurahan. Kecamatan Lembe Selatan dengan jumlah penduduk  11.846 jiwa di 7 kelurahan.
Namun jika dibandingkan dari segi pembangunan, wilayah Lembeh Selatan jauh lebih maju dari Lembeh Utara. Mungkin karena sebagian besar lokasi wilayah Lembeh Selatan yang mudah dijangkau dengan hadirnya akses jalan yang setiap tahun mendapat anggaran perawatan jalan, sehingga daerah ini jauh lebih maju.
Mimpi warga Lembeh, terutama warga kelurahan Motto akan akses jalan hadir ketika Sinyo Harry Sarundajang yang saat itu menjabat walikota Bitung menggagas pembangunan jalan lingkar Lembeh tahun 1986. Namun mimpi yang diberikan hanya sebatas mimpi di awan. Karena butuh beberapa tahun baru bisa direalisasikan, padahal Sarundajang sudah dua periode menjabat gubernur Sulut, tapi tetap saja itu bukan jaminan untuk mewujudkan impian tersebut.
Akibatnya, sebagian masyarakat hanya bergantung pada trasportasi laut untuk beraktifitas dan berhubungan dengan wilayah luar. Namun disaat cuaca tidak bersahabat seperti musim angin dan gelombang tinggi, mau tidak mau warga harus menggunakan trasportasi darat yang penuh resiko kecelakaan karena akses jalan yang memang tidak diperuntukkan untuk kendaraan bermotor.
“Akses jalan adalah sarana yang sangat kami butuhkan selain listrik dan signal telepon. Namun akses jalan yang memadai adalah harapan terbesar untuk bisa direalisasikan agar kami bisa berhubungan  dengan wilayah lain di pulau Lembeh ataupun ke kota Bitung,” ujar Alvian Dumat yang dipercayakan sebagai sekretaris kelurahan Motto.
Menurut Alvian, janji pembangunan jalan lingkar Lembeh tersebut selalu indah mereka dengar kala musim pemilukada datang. Entah itu pemilihan gubernur, anggota DPRD ataupun walikota, jalan lingkar Lembeh selalu menjadi menu utama untuk meraih simpati masyarakat dan memang strategi tersebut sangat ampuh.
Ini bukti jika akses jalan memang menjadi hal yang sangat dirindukan masyarakat Motto dan wilayah Lembeh lainnya. Karena dengan adanya akses jalan yang bisa dilalui kendaraan bermotor, maka masyarakat bisa leluasa untuk mengangkut hasil panen dan berpergian tanpa hambatan. Apalagi wilayah Motto yang menghadap laut lepas, akses jalan darat adalah kebutuhan yang sangat mendesak. Sebab transportasi laut tidak dapat diandalkan, apalagi di musim berangin.
Kondisi jalan lingkar Lembeh yang tidak tuntas.(bm)  
“Tanpa ditanyapun orang yang pernah mengunjungi Motto atau keluarahan lain seperti  Pintu Kota, Gunung Woka dan Posokan pasti berpendapat sama dengan kami, yakni pembangunan jalan harus diutamakan,” terang Alvian.
Ingatan Alvian masih merekam secara jelas ketika personil TNI mulai merintis jalan Puntu Kota – Batu Riri – Kareko – Binuang – Nusu – Motto serta  Pancuran – Gunung Woka – Posokan – Motto. Warga begitu antusias menyambut pembangunan jalan tersebut, kendati lahan perkebunan dan puluhan hingga ratusan pohon kepala harus dikorbankan tanpa ganti rugi sepeserpun demi pembangunan jalan. Bahkan Alvian mengenang, masyarakat secara bergantian mengantarkan makanan dan minuman kepada prajurit TNI selama merintis jalan yang kini terbengkalai tersebut.
“Jelas kami sangat kecewa karena rintisan jalan hanya mubasir dan hanya mengorbankan tanaman kelapa yang jika dikalkulasi hasilnya mungkin bisa membiayai anak-anak kami sekolah jika tidak ditebang,” kenang Alvian.
Namun janji manis ini akan kembali sedap didengar kala pesta politik datang. Terbukti, pemilihan walikota Bitung yang baru usai beberapa bulan lalu kembali mengangkat persoalan kelanjutan pembangunan jalan Lingkar Lembeh. Dimana salah satu pasangan calon ketika itu mengatakan sudah sementara menganggarkan dalam APBD pembangunan jalan tersebut, serta bantuan anggaran dari pusat. Dan lagi-lagi masyarakat hanya bisa menelan janji manis tersebut, kendati realisasinya masih jauh di awan-awan.
Karena kenyataannya, ketika ketua Komisi V bagian Anggaran DPR RI, Yasti Soepredjo Mokoagow berkunjung ke kota Bitung, membantah jika ada usulan anggaran soal pembangunan jalan lingkar Lembeh. Malah menurut Yasti, Pemkot Bitung belum pernah mengusulkan bantuan anggaran khusus untuk pembangunan jalan lingkar Lembeh. Padahal selama ini Pemkot Bitung selalu berdalih jika kelanjutan pembangunan  jalan lingkar Lembeh terkendala masalah anggaran dan itu sementara diusulkan ke pusat.
Hal bertentangan lagi dikatakan salah satu anggota DPRD Kota Bitung, Lexi Maramis yang mengaku dalam penganggaran pihaknya selalu mengusulkan anggaran pembangunan jalan lingkar Lembeh. Malah anggaran tersebut sudah dengan anggaran pengerasan jalan, jadi bukan hanya rintisan seperti yang terjadi di lapangan saat ini.
“Logikanya, masak ada rintisan jalan jika tidak diikuti dengan pengerasan. Kalau hanya rintisan, itu bukan pembuatan jalan namanya karena jelas tidak akan bertahan lama jalan tersebut,” tegas Maramis seraya megaku bakal mengecek anggaran pembangunan jalan lingkar Lembeh tersebut.
Memang kelanjutan jalan lingkar Lembeh selalu menjadi bahan dagangan laris jika ditinjau dari sisi politik. Karena jelas para politisi mengetahui persis akan kebutuhan warga, sehingga sangat mudah meraih simpati kala mengangkat permasalahan tersebut untuk meraih simpati.
Hal ini dibenarkan salah seorang pengamat sosial kota Bitung, Jacky Sumampouw. Karena menurutnya, sekian tahun masyarakat Lembeh selalu dibuai dengan janji kelanjutan pembangunan jalan lingkar Lembeh serta pembangunan infrastruktur lainnya.
“Jadi wajar jika masyarakat disana mulai bosan dan tidak percaya lagi terhadap pemerintah, karena jelas setiap memasuki masa pemilukada baru mulai diperhatikan. Itupun hanya sebatas janji manis saja,” ujar Sumampouw.
Masalah keterbatasan anggaran sendiri menurutnya bukan menjadi alasan. Karena, wacana pembangunan jalan lingkar Lembeh sudah dimulai tahun 1986,bukan baru satu dua tahun sebelumnya. Yang seharusnya jika pemerintah serius benar-benar ingin mewujudkan jalan lingkar Lembeh maka pasti jalan tersebut sudah dinikmati olah masyarakat saat ini.
“Kalau APBD tidak mampu, maka banyak cara lain untuk mendapatkan anggaran. Seperti melakukan lobi ke pusat atau mencari investor yang mau membantu dan saya rasa itu sudah diketahui oleh pemerintah kota Bitung. Cuma masalahnya pemerintah tidak ada keseriusan,” tegasnya.
Padahal jika impian masyarakat Motto ini benar-benar diwujudkan maka pasti wilayah tersebut akan bisa mengejar segala ketertinggalan mereka. Demikian pula dengan wilayah Lembeh lainnya, tidak akan hanya jadi penonton dalam geliat kota Bitung menjadi pelabuhan internasional dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang saat ini sementara dirintis.
Seperti harapan Opa Utu dan warga lain yang setiap tiga bulan harus mengeluarkan anggaran lebih untuk mengangkut hasil panen kopra menggunakan ojek ke Binuang, baru diseberangkan ke kota Bitung untuk dijual.
“Jalan merupakan impian kami, karena dengan adanya jalan maka pasti aktifitas antar kelurahan bisa dilakukan. Tidak seperti sekarang ini yang perlu perjuangan bahkan mempertaruhkan nyawa untuk bepergian dan kami harap ini bisa diperhatikan,” ujarnya berharap.
Belum lagi impian Ibu Katrina untuk bisa mendapatkan pelayanan kesehatan dengan mudah jika akses jalan lingkar Lembeh bisa terwujud. Serta harapan Finela Hariawan untuk tidak berpisah dengan orang tuanya hanya karena ingin melanjutkan sekolah ke tingkat SMA di wilayah lain. Padahal di kelurahannya dan kelurahan tetangganya sudah ada sekolah tingkat SMA, namun karena akses jalan yang tidak memadai, si sulung dari tiga bersaudara ini harus meninggalkan orang tuanya dan rekan-rekan bermainnya serta kedamaian Motto yang tetap terselimuti ketertinggalan dan buaian janji manis politik.

Setengah Hati

Alivian berbagi kisah ditemani temaram cahaya lampu botol.
Riuh suara burung gagak diujung kelurahan mulai hilang seiring datangnya malam, tergantikan suara mesin genset. Perlahan satu persatu bohlam di rumah warga menyala, serta beberapa lampu jalan. Alivian  terlihat santai di depan rumah mertuanya yang berada di persimpangan pertama jalan masuk kelurahan. Sambil menghisap rokok, pria paruh baya yang kebetulan menjabat sekretaris kelurahan ini memperhatikan kendaraan ojek lalu lalang dengan harapan ada pesan dari kelurahan Binuang.
“Beginilah keadaan kami setiap hari, selain hanya mengharapkan listrik dari tenaga genset, kami juga hanya bergantung informasi dari kelurahan tetangga karena signal telepon disini tidak ada,” ujar Alvian sambil menghembuskan asap rokoknya dengan nafas panjang.
Dirinya masih teringat beberapa tahun lalu, ketika Pemkot Bitung memberikan bantuan alat komunikasi handy talky, namun sayang alat tersebut tidak dapat difungsikan. Padahal menurutnya, warganya sangat girang dengan adanya bantuan tersebut karena impian bisa mendapat informasi dari luar sedikit bisa teratasi. Namun sayang, hanya bantuan antena yang mereka terima, sedangkan pesawat atau alat untuk berkomunikasi tidak ada.
“Katanya perangkat radionya menyusul, jadi hanya antena yang dipasang dulu. Tapi satu tahun alat tersebut tak kunjung dibawa. Hingga awal tahun ini ada petugas dari Pemkot Bitung yang datang mencabut antena tersebut dengan alasan akan ditarik,” katanya lirih sambil menatap isterinya, Polona di ruangan tamu yang sibuk melakukan aktifitas menyeterika. Polona sendiri harus berpacu dengan waktu untuk menyelesaikan seterikaan. Mengingat listrik hanya menyala 10 jam, sehingga ia harus bergegas menyelesaikan dua keranjang baju untuk diseterika sebelum genset bantuan tersebut dimatikan.
Untuk menikmati cahaya listrik di malam hari, Alvian dan Polona  harus mengeluarkan Rp55 ribu setiap bulannya. Biaya ini sendiri belum termasuk jika ingin menggunakan seterika, TV, Kulkas taupun alat elektronik lainnya. Karena setiap barang elektronik dikenakan biaya Rp5000 per bulan. Jadi total yang harus dikeluarkan oleh keluarga ini sebulan Rp75 ribu.
Namun fasilitas penerangan ini sendiri belum dinikmati oleh semua kepala keluarga, karena masih ada sekitar 40 kepala keluarga dari 200-an kepala keluarga yang hanya mengandalkan lampu botol dengan alasan biaya tersebut terlalu mahal. Apalagi di situasi seperti sekarang ini yang nyaris tidak ada aktifitas melaut dan hanya mengandalkan hasil kebun, yakni kopra yang panen setiap 3 bulan sekali.
Memang sangat memiriskan, bak peribahasa, sudah jatuh tertimpa tangga pula, demikianlah kondisi warga keluarahan Motto. Sudah terpinggirkan, perhatian pemerintah juga boleh dikatakan sangat minim. Padahal hanya beberapa kilometer di seberang Selat Lembeh, ribuan warga di enam  kelurahan kota Bitung lainnya menikmati listrik selama 24 jam tanpa batas. Namun entah mengapa, puluhan tahun wilayah Motto dan wilayah Lembeh lainnya tetap tergantung pada lampu botol setiap malam. Bahkan boleh dikatakan, Lembeh yang memiliki wilayah eksotis hanya dipandang sebelah mata dalam program pembangunan setiap tahunnya.
Terbukti dari pemberian bantuan yang kerap kali tidak lengkap dan hanya setengah-tengah. Seperti bantuan listrik tenaga surya yang katanya ada 50 unit namun hanya diterima 48 unit. Belum lagi bantuan alat komunikasi yakni handy talkie yang hanya diberikan pemancar namun pesawat radio tidak ada dan kini bantuan telepon satelit namun sayang belum bisa dioperasikan hingga saat ini.
Bantuan kelambu yang harusnya 2 buah tiap kepala keluarga, namun yang diterima hanya 1 kelambu. Bantuan bencana alam yakni pembangunan talut namun kini dialihkan ke kelurahan lain, padahal wilayah tersebut berhadapan langsung dengan laut lepas yang sangat rentan dengan gelombang pasang.
Hal yang sama juga terjadi pada bantuan pembangunan fasilitas umum seperti sekolah atau sarana lain. Seperti bantuan pembangunan ruangan perpustakaan yang tidak jelas hingga kini. Padahal di halaman sekolah SMP Negeri 10 Motto sudah berdiri fondasi gedung yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun 2011, yang tenggang pembangunannya sudah berakhir bulan Mei lalu. Tapi impian puluhan siswa SMP Negeri 10 untuk bisa membaca buku di perpustakaan hanya impian karena gedung tak kunjung rampung.
“Kami terkadang berpikir, apakah wilayah Motto ini masih bagian dari kota Bitung atau tidak. Karena bantuan yang kami terima hanya setengah-setengah yang jelas hanya menimbulkan kekecewaan,” desah Alvian.
Ketertinggalan wilayah Motto dan wilayah Lembeh lainnya ini sudah berulang-ulang disampaikan masyarakat. Malah menurut Alvian, pihaknya sudah lelah menyampaikan apa-apa yang mereka butuhkan dalam setiap kesempatan. Entah itu lewat Musrembang tingkat kelurahan, kecamatan hingga tingkat kota, namun tetap saja tidak ada tanggapan. Kalaupun ditanggapi, pelaksanaannya hanya setengah-setengah dan kerap kali tidak sesuai dengan yang diusulkan dalam Musrembang.
“Semoga kedepannya ada keajaiban bertandang ke kelurahan kami, agar warga tetap memilih untuk tinggal membangun Motto lebih maju,” harap Alvian seraya beranjak dari tempat duduknya dan masuk kedalam rumah mengajak isteri dan anaknya untuk makan malam, sebelum suara genset berhenti bersenandung. Kelurahan itu kembali diselimuti gelap dalam temaran cahaya lampu botol.(*)

Tulisan ini juga merupakan karya tulis pelatihan Meliput Mereka Yang Terpinggirkan dari PPNM Makassar 2011.

Dikunjungi