RAUANGAN kendaraan roda empat membelah
pekat malam Sabtu (05/7) lalu, menampaki jalan licin bebatuan menuju gunung
Mahawu. Kembali gunung ini menjadi tujuan perjalanan Tim Jelajah Swara Kita
(TJ-SK) setelah pekan lalu juga menjadi tujuan pendakian, namun kali ini dengan
menggunakan kendraan roda empat bukan roda dua.
Bertolak dari markas TJ-SK di jalan Walanda
Maramis nomor 186, Hendra ‘Henzu’ Zoenardjy, Ronal ‘Onal’ Rompas dan penulis
ditemani biro Tomohon Swara Kita, Romy Kaunang meyempatkan diri untuk
melihat-lihat Tomohon Flowers Festival (TFF) yang pada hari itu memasuki
persiapan penutupan acara setelah digelar dari tanggal 29 Juni sampai 06 Juli.
Yang menarik perhatian TJ-SK adalah
proses mempersipakan karpet bunga seluas 49 x 79.2 meter padahal waktu sudah
menunjukkan pukul 22.00 Wita tapi sengatan dinginnya udara tak dihiraukan oleh
puluhan warga yang sementara merangkai kurang lebih lima juta kutum bunga
menjadi logo TFF diatas lapangan.
Aroma bunga di seputaran lokasi
penutupan iven ini begitu jelas menusuk hidung larut dalam dinginnya udara
pegunungan kota Tomohon. Setelah menghabiskan sekian jam menikmati proses
pembuatan karpet bunga kami kemudian melanjutkan perjalan ke gunug Mahawu yang
terletak di ruas jalan menuju desa agrowisata Rurukan sebelah timur Kota
Tomohon.
Dengan hamparan kebun pertanian yang
dikelola oleh penduduk setempat secara tradisional menyimpan keunikan
tersendiri mengolah dengan peralatan sederhana tanpa sentuhan alat modern.
Lokasi pertanian ini terletak diantara lereng-lereng bukit yang dibuat
bedengan-bedengan secara terasering, pada saat tanaman holtikultura ini mulai tumbuh,
akan melahirkan pemandangan indah yang menyejukkan. Tempat ini juga berudara
sejuk dan nyaman.
Dengan ketinggian 1300 dari permukaan
laut gunung Mahawu menjadi salah satu tujun pendakian yang cukup digemari
selain gunung Lokon dan gunung Soputan karena akseses serta medan pendakian
yang sangat mudah sehingga setiap akhir pekan gunung berapi ini tak pernah sepi
dari aktifitas pendakian.
Tanpa hambatan kendraan roda empat terus
melaju membelah pekat malam, rupanya pemerintah Tomohon memang serius untuk
menjadikan gunung ini sebagai tempat wisata layaknya Tangkuban Perahu dan Bromo
di daerah Jawa yang dapat dijangkau dengan menggunakan kendaraan yang tentu
sangat memanjakan para wisatawan padahal jika dipikir tanpa pembangunan jalan
inipun gunung Mahawu dapat diakses walaupun hanya berjalan kaki dan yang pasti
lebih nature.
Disatu sisi memang potensi untuk
mengolah Mahawu dengan konsep Tangkuban Peruhu sangatlah pas karena kondisi dan
medan serta jarak tempuh dari kota Tomohon dengan jalan beraspal yang dijamin
mulus. Dengan demikian potensi yang tersipan di lokasi ini dapatlah
dimanfaatkan sepenuhnya sehingga mendatangkan pemasukan PAD yang tentu tak
sedikit.
Dengan adanya jalan ini, para orang tua
tentu bakal lebih mudah untuk mengajarkan dan mendekatkan buah hati mereka ke
alam dan yang pasti kedepanya gunung Mahawu bakal menjadi salah satu pilihan
wisata keluarga.
Kedepanya pemerintah harus menambah
beberapa fasilitas pendukung seperti tempat berteduh berupa pendopo, bak sampah
dan petugas kemaanan. Ketiga fasilitas ini sangat perlu untuk di persiapkan
mengingat cuaca di daerah ini yang lebih dominan hujan sehingga sarana pendopo
sangat diperlukan untuk berlindung dari hujan selain itu sebagai tempat
beristirahat para pengunjung setelah melakukan pendakian ke bibir kawah Mahawu.
Dengan mudahnya lokasi ini dikunjungi
dengan kendraan bermotor, otomatis volume pengunjung akan bertambah seiring
peningkatan sampah yang ditinggalkan sehingga tempat-tempat sampah perlu
dihadirkan. Supaya kenyamanan dan kemanan pengunjung maka pemerintah harus
menyediakan petugas kemaaman untuk menjamin kedua hal tersebut karena tidak
menutup kemungkinan para pedagang kaki lima juga bakal hadir seperti lokasi
wisata alam lainya.
Terlepas dari itu semua dengan
terbukanya akses jalan ini otomatis menimbulkan beberapa dampak yang harus
diantisipasi oleh pemerintah kedepanya, seperti tingkat polusi akan meningkat
serta habitat satwa yang ada disepanjang jalan akan terusik dengan bisingnya
kendaraan bermotor.
Tak hanya hal tersebut warga diseputaran
kaki gunung ini bahkan kota Tomohon terancam akan persedian air karena entah
berapa puluh pohon yang di korbankan demi proyek pembanguan jalan ini.
Mungkin lebih baik jika Mahawu dibuat
seperti Gunung Gede di Jawa Barat, dimana jalur pendakian hanya menggunakan
jalan setapak tanpa harus membuka jalan untuk kendaraan roda empat. Jadi jalan
setapaknya tetap dipertahankan dengan cara disemen dan dibuat lebih alami tanpa
mengorbankan pohon. Waktu sudah menunjukkan pukul 23.30 Wita ketika kami sampai
di bibir kawah gunung yang notabene adalah puncak Mahawu.
Kabut tebal dan angin menyambut
kedatangan kami dan tujuan untuk melihat karpet bunga dari atas gunung ini
sangat tipis melihat cuaca yang kurang bersahabat. Sambil melepas lelah dan berharap
kabut akan segera pergi agar perjalanan dan tujuan peburuan bunga TFF dari
puncak Mahawu tidak sia-sia. Tapi rupanya apa yang kami harapkan tak juga dapat
terkabulkan dan sekitar pukul 00.00 Wita dengan hati yang berat kami memutuskan
untuk segera meninggalkan tempat tersebut mengingat tiupan angin yang semakin
kencang disertai dengan butiran embun dan memutuskan untuk kembali lagi pada
pagi hari ke puncak tersebut.
Matahari masih malu-malu menampakkan
dirinya ketika kami kembali menapaki jalan bebatuan ke gunung Mahawu berharap
cuaca tidak akan seperti tadi malam tapi lagi-lagi kebut menyelimuti puncak
gunung ini, dan harapan untuk mendapatkan foto karpet bunga TFF sirna tinggal
impian.(abinenobm/tj-sk)
dipublikasikan SKH Swara Kita