MATAHARI sudah condong ke barat ketika
penulis menginjakkan kaki di atas puncak bukit Watu Pinantik, sembari melepas
lelah menikmati indahnya kota Manado seusai melakukan perjanan dari kaki bukit
yang cukup terjal.
Warna jingga mewarnai seantero cakrawala
seiring tenggelamnya matahari ditelan lautan luas berganti dengan kerlap kerlip
lampu kota dalam pelukan malam seiring dengan terbengkalainya lokasi wisata
ini.
Penulis yang tergabung dalam Tim Jelajah
Swara Kita (TJSK) ditemani salah seorang rekan Biro Minut harian ini Stenly
Mamuaja, sengaja berkunjung ke lokasi ini untuk melihat kondisi alam Watu
Pinantik serta peninggalan bersejarahnya.
Lokasi ini sendiri masih berada dalam
wilayah desa Kali yang berjarak kurang lebih dua puluh kilo meter dari pusar
kota Manado. Untuk menuju ke tempat sarana penunjang, sudah tersedia baik
prasarana jalan maupun angkutan. Namun Watu Pinantik tak setenar lokasi wisata
air terjun Tapahan Telu yang ada di desa ini, padahal bukit ini lebih dahulu di
jumpai sebelum air terjun.
Hal ini wajar, karena menurut Mamuaja
yang nota bene adalah warga desa Kali, kurang lebih dua puluh tahun lokasi ini
tidak diperhatikan lagi dan dibiarkan begitu saja. Padahal menurutnya, lokasi
ini sarat dengan nilai sejarah religius.
“Dahulu lokasi ini tak pernah sepi dari
pengunjung, baik wisatawan lokal mapun dari luar. Dan lokasi ini adalah menjadi
salah satu tempat vaforit kami bermain waktu masih kecil karena keasrian
alamanya,” terangnya.
Apa yang dikatakan Mamuaja memang
didukung oleh bukti, ini ditandai adanya sarana jalan setapak dari beton yang
sudah tertata dengan rapi walaupun kondisinya kini dipenuhi tanaman liar serta
terdapat kerusakan.
Bukan cuma itu, keasrian alam ini sudah
mulai terkikis dengan pengalihan lokasi dari warga menjadi lahan perkebunan
yang otomatis mengorbankan pohon-pohon. Kesan gersang dan terancam erosi selalu
mengintai kawasan itu apalagi jika dimusim penghujan. Walaupun keasrian hutan
sudah mulai terusik, namun ada yang masih tetap terjaga hingga saat ini, yakni
gambar-gambar pada beberapa batu yang menggambarkan perjalan bangsa Portugis ke
daerah ini.
Peninggalan ini pun terus dijaga oleh
warga sekitar sejak turun temurun hingga saat ini. Menurut penuturan Sekertaris
Desa (Sekdes) Kali, Drs Fery Joekaunang, peninggalan bersejarah tersebut yang
menjadi daya tarik tersendiri. Sebab, keadaan pada saat itu dapat kita ketahui
melalui gambar-gambar yang terpahat di beberapa batu walaupun sudah ada yang
mulai buram.
“Lokasi ini adalah tempat persembuyian
bangsa Spanyol ketika terjadi perang dengan suku Tombulu. Dan menurut sejarah
Pastor Lorenzo Geralda terbunuh di lokasi ini dan diperkirakan dikuburkan di
sini pula,” terang penyusun sejarah gereja GMIM Moria Kali ini.
Lebih lanjut ia mengatakan, nama Watu
Pinantik sendiri adalah bahasa Tombulu yang di Indonesiakan berarti batu
bertulis. Diduga peninggalan ini hasil karya dari para pengikut Lorenzo yang
coba merekam apa yang terjadi ketika itu melalui media batu, seperti gambar
orang yang mengenakan baju kebesaran perang, perahu, rumah adat Minahasa dan
lambang gereja katolik.
Namun sangat disayangkan lokasi ini
belum mendapat sentuhan dari pemerintah padahal untuk pariwisata Watu Pinantik
sangat mendukung baik dari segi wisata sejarah, alam maupun keagamaan ada di
tempat ini. Hal tersebut turut juga dibenarkan Hukum Tua desa Kali Hendrik F
Pungus.
“Memang sampai saat ini belum ada campur
tangan pemerintah untuk menjadikan lokasi ini menjadi salah satu tempat wisata
padahal lokasinya cukup dekat dengan pusat kota,” terang Pungus.
Suasana alami sangat kental ketika TJSK
mulai berjalan menuruni lembah dari bibir jalan berasapal menuju desa Kali yang
berakhir di sebuah aliran air sungai. Dari sungai tersebut diperkirakan dua
puluh menit untuk sampai ke titik tertinggi bukit ini melewati perkebunan milik
warga dan di atas bukit ini didirikan sebuah monumen bentuk salib untuk
mengenang pastor Lorenzo.
Namun salib tersebut sudah tak
menyerupai salib lagi, karena kini hanya tinggal tiangnya saja. Warga sendiri
sangat berharap lokasi ini mendapat perhatian secepatnya seiring dengan
persiapan kota ini menyambut WOC 2009 dan MKPD 2010 nanti, utamanya dalam
pemugaran peninggalan bersejarah.
Tak banyak biaya yang diperlukan jika
pemerintah benar-benar mau mengolah lokasi ini kerena prasarana berupa jalan
sudah ada tinggal dibenahi saja serta penanaman kembali pohon-pohon pelindung
agar tempat ini tidak terlihat gersang. Watu Pinantik wisata alam sarat sejarah
religius yang terlupakan dalam gilasan perjalan waktu. (abinenobm/tj-sk)
dipublikasikan SKH Swara Kita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar