Gunung Masarang |
DENGAN wajah ramah dan senyum yang khas,
warga kelurahan Masarang menjawab ketika kami dari Tim Jelajah Swara Kita
(TJ-SK) menayakan jalan menuju gunung Masarang. Rasa bersahabat begitu kental
terasa ketika kami, Sabtu (20/9) lalu, berkunjung kelurahan ini, satu budaya
yang mulai terkikis di era modern seiring perkembangan jaman.
“Iko terus jo ini jalan, ndak usah tako
mo ilang dari jam begini masih banyak orang dikebun batanya jo ndak usah malu,”
ujar seorang ibu ketika kendraan kami tidak bisa lagi melewati medan yang tidak
beraspal.
Rupanya jalan beraspal yang membelah
kelurahan Masarang ini hanya sampai diujung kampung, dan untuk menuju gunung
Masarang harus ditempuh dengan berjalan kaki.
Beruntung, ketika kami sementara
menapaki jalan setapak yang juga dijadikan warga untuk mengangkut hasil-hasil
kebun cuaca turut juga mendukung karena jika hujan terjadi dapatlah dibayangkan
medan menuju gunung Masarang ini tentu akan menjadi berat. Dan hal ini dikaui
oleh Jhon Winatisan warga Masarang yang berkebun tepat di perbatasan antara
hutan lindung Masarang.
“Syukur hari bapanas ndak hujan. Mar
kalau pas hujan ngoni naik kemari pasti belum sampai lantaran jalan jadi licin
deng bapece,” jelas pria ini menyambut kedatangan kami di pondok miliknya.
Apa yang dikatakan bapak ini memang
betul karena tidak sampai tiga puluh menit kami sudah sampai di batas hutan
lindung. Gunung Masrang ini sendiri beberapa tahun lalu sempat terancam dengan
adanya aktifitas penebangan liar dan pembukaan lahan perkebunan oleh warga yang
ada di sekitar kaki gunung.
Akibatnya tak hanya hutan yang semakin
gundul namun habitat yang ada di gunung ini juga ikut terganggu. Tak hanya itu
mata air yang menjadi kebutuhan bagi warga satu persatu menghilang akibatnya
warga mulai kewalahan untuk mendapatkan air bersih.
Gunung Masarang ini sendiri memiliki dua
puncak, puncak yang pertama lebih dekat ke kota Tomohon dan yang satunya desa
Rurukan, namun jika dari kelurahan Masarang kedua puncak ini begitu dekat
jaraknya begitupun dari arah gunung Mahawu.
Dipuncak pertama sendiri ada sebuah
danau yang dikenal dengan danau Linau dan diyakini sumber air yang menghidupi
kalurahan Masarang termasuk kota Tomohon berasal dari danau ini.
Gunung ini sendiri menjadi salah satu
lokasi para pecinta alam menggelar berbagai kegiatan seperti pendidikan dasar
bagi anggota baru hingga pengamatan satwa. Dengan adanya kerusakan tersebut,
warga khususnya kelurahan Masarang mulai kembali melakukan reaboisasi lewat
salah satu yayasan yakni yayasan Masarang.
Warga sendiri tidak hanya menam
sayur-sayuran diatas kebun miliknya namun juga pohon-pohon yang memiliki nilai
ekonomis, seperti cempaka (sejenis katu meranti khas Minahasa), pakoba (kayu
keras, juga khas Minahasa), kayu manis dan pohon kopi. Dengan demikian kebun
yang biasanya terlihat terbuka dan rawan erosi atau lonsor kini terlihat hujau
karena dipenuhi dengan pohon-pohon.
Disakralkan
Perkebunan jati di kaki Gunung Marang |
BAGI warga kelurahan masarang sendiri,
rasa menjaga hutan yang ada di gunung Masrang sudah terpatri dari generasi ke
generasi. Dan hal ini ditunjukan lewat kesadaran mereka untuk tidak legi
bergantung kepada hasil hutan seperti kayu malah sebagian lebih memilih untuk
membuat hutan sendiri di kebun masing-masing, dengan jalan menanam pohon yang
dianggap memiliki nilai ekonomis.
“Kami sudah tidak ke hutan lagi jika
jika perlu kayu untuk dijual namun tinggal memilih kayu yang ada dikebun, mana
yang sudah layak untuk dijadikan bahan bangunan,” jelas wakil kepala lingkungan
I kelurahan Masarang Yantje Nusa.
Bahkan menurutnya dari hasil kayu yang
mereka tanam sendiri sudah banyak warga yang menikmati hasilnya tanpa menyentuh
pohon-pohon yang ada di gunung Masarang.
Hal senada juga diungkapkan oleh ketua
Karang Taruna Beringin kelurahan Masarang Daniel Wagei, yang mengaku jika tidak
ada halangan kayu cempaka yang ditanmnya tahun depan sudah bisa ditebang untuk
dijadikan bahan banguan. Sikap warga kelurahan Masarang ini sendiri pantas
ditiru dan diacungi jempol, karena mereka sampai hari ini tetap menjaga dan
melestarikan hutan Masarang.
Kelurahan Masarang sendiri masuk dalam
kecamatan Tondano Barat dengan luas 262.5 hektar, dengan jumlah kepala keluarga
272 dan 874 jiwa . Mayoritas pekerjaan warga sendiri adalah menjadi petani di
sepitaran kaki gunung Masarang.
Berpotensi Wisata
Pemandangan yang bisa dinikmati dari gunung Masarang |
KELURAHAN Masarang ini sendiri sangat
berpotensi untuk dijadikan sebagai kampung wisata, bahkan dahulu kelurahan ini
kerap dijadikan sebagai lokasi kegitaan keagamaan seperti bible camp. Namun
menurut pengakuan Nusa, lokasi bible camp tersebut sudah lama hilang seiring
dengan bergantinya pemilik tanah yang dijadikan tempat kegiatan kerohanian
tersebut.
Kendati demikian Masarang sangat kental
dengan potensi wisata alamnya yang tentu jika dikelola lebih jauh akan sangat
bermanfaat bagi dunia pariwisata. Salah satunya adalah, wisata agrobisnis
seperti di desa Rurukan. Tak hanya hal tersebut wisatawan juga dapat menikmati
keindahan hutan lindung Masarang serta satwa yang ada di hutan tersebut dan ini
tentu lebih alami. Itu hanya sebagian kecil saja yang bisa di jual ke
wisatawan, belum termasuk pertunjukan tari-tarian atau kebudayaan dari warga
kelurahan Masarang.
Terlepas dari itu semua, lokasi TPA yang
ada di jalan menuju kelurahan ini sangat tidak sesuai dengan kekayaan wisata
alam kelurahan Masarang. Karena dengan adanya TPA pengunjung yang pertama kali
bertandang ke lokasi ini akan lengsung bepikir negatif bahkan tidak menutup
kemungkinan bakal langsung pulang tanpa sempat melihat keindahan kelurahan
Masarang.
Untuk itu kedepannya diharapkan TPA
tersebut dipindahkan ketempat lain begitupula kegiatan galian C yang marak di
sepanjang jalan menuju kelurahan Masarang.
Dikelola Pihak Ketiga
SEMENJAK hutan lindung Masarang dikelola
oleh yayasan Marang, otomatis saja keberadaan hutan ini terus terjaga.
Kehadiran yayasan ini sendiri bertujuan untuk mengadakan proyek percontohan
pelestarian hutan lindung Masarang, memulihkan kondisi hutan lindung Masarang
sebagai sumber air dan tempat kehidupan flora dan fauna asli Minahasa dan
mendidik masyarakat mengenai kepentingan pelestarian.
Bersama-sama kelompok masyarakat
pedesaan, puluhan kelompok tani, kelompok pemuda dan pelajar sejumlah sekolah
menengah umum (SMU) serta Pria Kaum Bapa Gereja yayasan Masarang berhasil
mereboisasi dan menghijaukan sedikitnya lima hektar lahan kritis di lereng
perbukitan Gunung Masarang, Timur Tomohon.
Dan hal ini didukung sepenuhnya oleh
warga yang ada di sekitar kaki gunug. Ini adalah salah satu bukti bahwa dalam
pengelolaan dan penjagaan hutan sudah saatnya pemerintah untuk memikirkan
melibatkan pihak ketiga seperti yayasan Masarang ini.
Tidak hanya mengandalkan pihak kehutanan
atau jaga wana dalam menjaga hutan yang dinilai tidak mebuahkan hasil sama
sekali malah kenyataannya mesin gergaji tetap saja terdengar di hutan-hutan
lindung serta perburuan satwa tetap saja terjadi.
Diharapkan hutan cara pengelolaan hutan
lindung masarang ini dapat menjadi cermin bagi pemrintah dalam menjaga hutan,
dan kalau bolah dikatakan hutan lindung yang masih tetap terjaga hingga kini
adalah hutan Masarang. Dan keberadaan hutan lindung ini sendiri bukan hanya
menjadi tanggung jawab warga kelurahan Masarang atau yayasan Marang namun kita
semua karena hutan lindung Masarang adalah benteng hijau yang harus kita
pertahankan. (abinenobm/tj-sk)
dipublikasikan SKH Swara Kita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar