awal

Laman

Minggu, 10 Juni 2012

Masarang “Benteng Hijau” Yang Tetap Terjaga


Gunung Masarang
DENGAN wajah ramah dan senyum yang khas, warga kelurahan Masarang menjawab ketika kami dari Tim Jelajah Swara Kita (TJ-SK) menayakan jalan menuju gunung Masarang. Rasa bersahabat begitu kental terasa ketika kami, Sabtu (20/9) lalu, berkunjung kelurahan ini, satu budaya yang mulai terkikis di era modern seiring perkembangan jaman.

“Iko terus jo ini jalan, ndak usah tako mo ilang dari jam begini masih banyak orang dikebun batanya jo ndak usah malu,” ujar seorang ibu ketika kendraan kami tidak bisa lagi melewati medan yang tidak beraspal.

Rupanya jalan beraspal yang membelah kelurahan Masarang ini hanya sampai diujung kampung, dan untuk menuju gunung Masarang harus ditempuh dengan berjalan kaki.

Beruntung, ketika kami sementara menapaki jalan setapak yang juga dijadikan warga untuk mengangkut hasil-hasil kebun cuaca turut juga mendukung karena jika hujan terjadi dapatlah dibayangkan medan menuju gunung Masarang ini tentu akan menjadi berat. Dan hal ini dikaui oleh Jhon Winatisan warga Masarang yang berkebun tepat di perbatasan antara hutan lindung Masarang.

“Syukur hari bapanas ndak hujan. Mar kalau pas hujan ngoni naik kemari pasti belum sampai lantaran jalan jadi licin deng bapece,” jelas pria ini menyambut kedatangan kami di pondok miliknya.

Apa yang dikatakan bapak ini memang betul karena tidak sampai tiga puluh menit kami sudah sampai di batas hutan lindung. Gunung Masrang ini sendiri beberapa tahun lalu sempat terancam dengan adanya aktifitas penebangan liar dan pembukaan lahan perkebunan oleh warga yang ada di sekitar kaki gunung.

Akibatnya tak hanya hutan yang semakin gundul namun habitat yang ada di gunung ini juga ikut terganggu. Tak hanya itu mata air yang menjadi kebutuhan bagi warga satu persatu menghilang akibatnya warga mulai kewalahan untuk mendapatkan air bersih.

Gunung Masarang ini sendiri memiliki dua puncak, puncak yang pertama lebih dekat ke kota Tomohon dan yang satunya desa Rurukan, namun jika dari kelurahan Masarang kedua puncak ini begitu dekat jaraknya begitupun dari arah gunung Mahawu.

Dipuncak pertama sendiri ada sebuah danau yang dikenal dengan danau Linau dan diyakini sumber air yang menghidupi kalurahan Masarang termasuk kota Tomohon berasal dari danau ini.
Gunung ini sendiri menjadi salah satu lokasi para pecinta alam menggelar berbagai kegiatan seperti pendidikan dasar bagi anggota baru hingga pengamatan satwa. Dengan adanya kerusakan tersebut, warga khususnya kelurahan Masarang mulai kembali melakukan reaboisasi lewat salah satu yayasan yakni yayasan Masarang.

Warga sendiri tidak hanya menam sayur-sayuran diatas kebun miliknya namun juga pohon-pohon yang memiliki nilai ekonomis, seperti cempaka (sejenis katu meranti khas Minahasa), pakoba (kayu keras, juga khas Minahasa), kayu manis dan pohon kopi. Dengan demikian kebun yang biasanya terlihat terbuka dan rawan erosi atau lonsor kini terlihat hujau karena dipenuhi dengan pohon-pohon.

Disakralkan 

Perkebunan jati di kaki Gunung Marang
BAGI warga kelurahan masarang sendiri, rasa menjaga hutan yang ada di gunung Masrang sudah terpatri dari generasi ke generasi. Dan hal ini ditunjukan lewat kesadaran mereka untuk tidak legi bergantung kepada hasil hutan seperti kayu malah sebagian lebih memilih untuk membuat hutan sendiri di kebun masing-masing, dengan jalan menanam pohon yang dianggap memiliki nilai ekonomis.

“Kami sudah tidak ke hutan lagi jika jika perlu kayu untuk dijual namun tinggal memilih kayu yang ada dikebun, mana yang sudah layak untuk dijadikan bahan bangunan,” jelas wakil kepala lingkungan I kelurahan Masarang Yantje Nusa.

Bahkan menurutnya dari hasil kayu yang mereka tanam sendiri sudah banyak warga yang menikmati hasilnya tanpa menyentuh pohon-pohon yang ada di gunung Masarang.

Hal senada juga diungkapkan oleh ketua Karang Taruna Beringin kelurahan Masarang Daniel Wagei, yang mengaku jika tidak ada halangan kayu cempaka yang ditanmnya tahun depan sudah bisa ditebang untuk dijadikan bahan banguan. Sikap warga kelurahan Masarang ini sendiri pantas ditiru dan diacungi jempol, karena mereka sampai hari ini tetap menjaga dan melestarikan hutan Masarang.

Kelurahan Masarang sendiri masuk dalam kecamatan Tondano Barat dengan luas 262.5 hektar, dengan jumlah kepala keluarga 272 dan 874 jiwa . Mayoritas pekerjaan warga sendiri adalah menjadi petani di sepitaran kaki gunung Masarang.

Berpotensi Wisata

Pemandangan yang bisa dinikmati dari gunung Masarang
KELURAHAN Masarang ini sendiri sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai kampung wisata, bahkan dahulu kelurahan ini kerap dijadikan sebagai lokasi kegitaan keagamaan seperti bible camp. Namun menurut pengakuan Nusa, lokasi bible camp tersebut sudah lama hilang seiring dengan bergantinya pemilik tanah yang dijadikan tempat kegiatan kerohanian tersebut.

Kendati demikian Masarang sangat kental dengan potensi wisata alamnya yang tentu jika dikelola lebih jauh akan sangat bermanfaat bagi dunia pariwisata. Salah satunya adalah, wisata agrobisnis seperti di desa Rurukan. Tak hanya hal tersebut wisatawan juga dapat menikmati keindahan hutan lindung Masarang serta satwa yang ada di hutan tersebut dan ini tentu lebih alami. Itu hanya sebagian kecil saja yang bisa di jual ke wisatawan, belum termasuk pertunjukan tari-tarian atau kebudayaan dari warga kelurahan Masarang.

Terlepas dari itu semua, lokasi TPA yang ada di jalan menuju kelurahan ini sangat tidak sesuai dengan kekayaan wisata alam kelurahan Masarang. Karena dengan adanya TPA pengunjung yang pertama kali bertandang ke lokasi ini akan lengsung bepikir negatif bahkan tidak menutup kemungkinan bakal langsung pulang tanpa sempat melihat keindahan kelurahan Masarang.

Untuk itu kedepannya diharapkan TPA tersebut dipindahkan ketempat lain begitupula kegiatan galian C yang marak di sepanjang jalan menuju kelurahan Masarang.

Dikelola Pihak Ketiga

SEMENJAK hutan lindung Masarang dikelola oleh yayasan Marang, otomatis saja keberadaan hutan ini terus terjaga. Kehadiran yayasan ini sendiri bertujuan untuk mengadakan proyek percontohan pelestarian hutan lindung Masarang, memulihkan kondisi hutan lindung Masarang sebagai sumber air dan tempat kehidupan flora dan fauna asli Minahasa dan mendidik masyarakat mengenai kepentingan pelestarian.

Bersama-sama kelompok masyarakat pedesaan, puluhan kelompok tani, kelompok pemuda dan pelajar sejumlah sekolah menengah umum (SMU) serta Pria Kaum Bapa Gereja yayasan Masarang berhasil mereboisasi dan menghijaukan sedikitnya lima hektar lahan kritis di lereng perbukitan Gunung Masarang, Timur Tomohon.

Dan hal ini didukung sepenuhnya oleh warga yang ada di sekitar kaki gunug. Ini adalah salah satu bukti bahwa dalam pengelolaan dan penjagaan hutan sudah saatnya pemerintah untuk memikirkan melibatkan pihak ketiga seperti yayasan Masarang ini.

Tidak hanya mengandalkan pihak kehutanan atau jaga wana dalam menjaga hutan yang dinilai tidak mebuahkan hasil sama sekali malah kenyataannya mesin gergaji tetap saja terdengar di hutan-hutan lindung serta perburuan satwa tetap saja terjadi.

Diharapkan hutan cara pengelolaan hutan lindung masarang ini dapat menjadi cermin bagi pemrintah dalam menjaga hutan, dan kalau bolah dikatakan hutan lindung yang masih tetap terjaga hingga kini adalah hutan Masarang. Dan keberadaan hutan lindung ini sendiri bukan hanya menjadi tanggung jawab warga kelurahan Masarang atau yayasan Marang namun kita semua karena hutan lindung Masarang adalah benteng hijau yang harus kita pertahankan. (abinenobm/tj-sk)

dipublikasikan SKH Swara Kita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dikunjungi