awal

Laman

Minggu, 10 Juni 2012

Watu Pinantik, Lokasi Religius yang Ditinggalkan


MATAHARI sudah condong ke barat ketika penulis menginjakkan kaki di atas puncak bukit Watu Pinantik, sembari melepas lelah menikmati indahnya kota Manado seusai melakukan perjanan dari kaki bukit yang cukup terjal.

Warna jingga mewarnai seantero cakrawala seiring tenggelamnya matahari ditelan lautan luas berganti dengan kerlap kerlip lampu kota dalam pelukan malam seiring dengan terbengkalainya lokasi wisata ini.

Penulis yang tergabung dalam Tim Jelajah Swara Kita (TJSK) ditemani salah seorang rekan Biro Minut harian ini Stenly Mamuaja, sengaja berkunjung ke lokasi ini untuk melihat kondisi alam Watu Pinantik serta peninggalan bersejarahnya.

Lokasi ini sendiri masih berada dalam wilayah desa Kali yang berjarak kurang lebih dua puluh kilo meter dari pusar kota Manado. Untuk menuju ke tempat sarana penunjang, sudah tersedia baik prasarana jalan maupun angkutan. Namun Watu Pinantik tak setenar lokasi wisata air terjun Tapahan Telu yang ada di desa ini, padahal bukit ini lebih dahulu di jumpai sebelum air terjun.

Hal ini wajar, karena menurut Mamuaja yang nota bene adalah warga desa Kali, kurang lebih dua puluh tahun lokasi ini tidak diperhatikan lagi dan dibiarkan begitu saja. Padahal menurutnya, lokasi ini sarat dengan nilai sejarah religius.

“Dahulu lokasi ini tak pernah sepi dari pengunjung, baik wisatawan lokal mapun dari luar. Dan lokasi ini adalah menjadi salah satu tempat vaforit kami bermain waktu masih kecil karena keasrian alamanya,” terangnya.

Apa yang dikatakan Mamuaja memang didukung oleh bukti, ini ditandai adanya sarana jalan setapak dari beton yang sudah tertata dengan rapi walaupun kondisinya kini dipenuhi tanaman liar serta terdapat kerusakan.

Bukan cuma itu, keasrian alam ini sudah mulai terkikis dengan pengalihan lokasi dari warga menjadi lahan perkebunan yang otomatis mengorbankan pohon-pohon. Kesan gersang dan terancam erosi selalu mengintai kawasan itu apalagi jika dimusim penghujan. Walaupun keasrian hutan sudah mulai terusik, namun ada yang masih tetap terjaga hingga saat ini, yakni gambar-gambar pada beberapa batu yang menggambarkan perjalan bangsa Portugis ke daerah ini.

Peninggalan ini pun terus dijaga oleh warga sekitar sejak turun temurun hingga saat ini. Menurut penuturan Sekertaris Desa (Sekdes) Kali, Drs Fery Joekaunang, peninggalan bersejarah tersebut yang menjadi daya tarik tersendiri. Sebab, keadaan pada saat itu dapat kita ketahui melalui gambar-gambar yang terpahat di beberapa batu walaupun sudah ada yang mulai buram.

“Lokasi ini adalah tempat persembuyian bangsa Spanyol ketika terjadi perang dengan suku Tombulu. Dan menurut sejarah Pastor Lorenzo Geralda terbunuh di lokasi ini dan diperkirakan dikuburkan di sini pula,” terang penyusun sejarah gereja GMIM Moria Kali ini.

Lebih lanjut ia mengatakan, nama Watu Pinantik sendiri adalah bahasa Tombulu yang di Indonesiakan berarti batu bertulis. Diduga peninggalan ini hasil karya dari para pengikut Lorenzo yang coba merekam apa yang terjadi ketika itu melalui media batu, seperti gambar orang yang mengenakan baju kebesaran perang, perahu, rumah adat Minahasa dan lambang gereja katolik.

Namun sangat disayangkan lokasi ini belum mendapat sentuhan dari pemerintah padahal untuk pariwisata Watu Pinantik sangat mendukung baik dari segi wisata sejarah, alam maupun keagamaan ada di tempat ini. Hal tersebut turut juga dibenarkan Hukum Tua desa Kali Hendrik F Pungus.

“Memang sampai saat ini belum ada campur tangan pemerintah untuk menjadikan lokasi ini menjadi salah satu tempat wisata padahal lokasinya cukup dekat dengan pusat kota,” terang Pungus.

Suasana alami sangat kental ketika TJSK mulai berjalan menuruni lembah dari bibir jalan berasapal menuju desa Kali yang berakhir di sebuah aliran air sungai. Dari sungai tersebut diperkirakan dua puluh menit untuk sampai ke titik tertinggi bukit ini melewati perkebunan milik warga dan di atas bukit ini didirikan sebuah monumen bentuk salib untuk mengenang pastor Lorenzo.

Namun salib tersebut sudah tak menyerupai salib lagi, karena kini hanya tinggal tiangnya saja. Warga sendiri sangat berharap lokasi ini mendapat perhatian secepatnya seiring dengan persiapan kota ini menyambut WOC 2009 dan MKPD 2010 nanti, utamanya dalam pemugaran peninggalan bersejarah.

Tak banyak biaya yang diperlukan jika pemerintah benar-benar mau mengolah lokasi ini kerena prasarana berupa jalan sudah ada tinggal dibenahi saja serta penanaman kembali pohon-pohon pelindung agar tempat ini tidak terlihat gersang. Watu Pinantik wisata alam sarat sejarah religius yang terlupakan dalam gilasan perjalan waktu. (abinenobm/tj-sk)

dipublikasikan SKH Swara Kita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dikunjungi